WartaExpress

Kontroversi RUU KUHAP: Ancaman bagi Hak Tersangka yang Terabaikan?

Wacana tentang superioritas penyidikan dalam pembahasan RUU KUHAP terus menjadi sorotan di Indonesia. Sebagai titik krusial dalam reformasi hukum pidana, kebijakan ini diindikasi dapat memiliki dampak signifikan terhadap pengawasan dan pemenuhan hak-hak tersangka. Arif Maulana, Direktur LBH Jakarta, mengeluarkan pernyataan kritis selama seminar bertajuk “RUU KUHAP: Masa Depan Penegakan Hukum Pidana di Indonesia” yang diadakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil dan FORI Pasca Sarjana KSI X di Universitas Indonesia, Salemba.

Potensi Pelanggaran Hak-Hak Tersangka

Arif Maulana menyoroti bahwa pemberlakuan superioritas penyidikan dapat memicu pelanggaran hak-hak tersangka. Dalam paparannya, ia menyebutkan bahwa penegakan hukum seharusnya dijalankan dengan prinsip independensi, profesionalisme, dan integritas. Arif menegaskan pentingnya kontrol yang ketat terhadap kewenangan penyidikan termasuk langkah-langkah paksa seperti penahanan, penuntutan, dan pemenjaraan. “Bantuan hukum memainkan peran signifikan dalam menjaga proses hukum yang adil,” ujarnya.

Merujuk pada data LBH Jakarta, terdapat 1.150 keluhan dari masyarakat terkait layanan kepolisian selama Januari hingga September 2023. Polri kerap menjadi sorotan akibat pelayanan buruk, diskriminasi, dan penyalahgunaan wewenang.

Data dan Fakta dari Proses Penyelidikan

Menurut Arif, studi dari LBH Jakarta dan MaPPI FH UI menunjukkan bahwa hanya sekitar 645.780 dari 1.144.108 kasus yang diproses antara tahun 2012-2014. Ini mengindikasikan adanya ribuan kasus yang tidak mendapatkan tindakan hukum. Sementara itu, praktik salah tangkap, intimidasi, penyiksaan, pemalsuan bukti, dan penolakan laporan tetap ditemukan di lapangan, menunjukkan bahwa reformasi serius dibutuhkan dalam proses penyelidikan.

Reformasi KUHAP: Rekomendasi dan Kebutuhan

Guinea de la Celata, seorang penasehat hukum, menekankan bahwa RUU KUHAP seharusnya berupaya menciptakan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dari upaya penyalahgunaan kekuasaan, baik oleh penyidik maupun jaksa. Ia menyarankan agar ada mekanisme kontrol yang jelas, baik itu melalui koordinasi maupun dalam bentuk lembaga pengawas independen.

Febby Mutiara Nelson, dosen Fakultas Hukum UI, menambahkan perspektif internasional dengan menjelaskan bagaimana negara-negara lain, seperti Prancis dan Belanda, menangani koordinasi dan pengawasan penyidikan. Ia menyoroti pentingnya seorang jaksa dalam memberikan arahan dan memastikan bahwa proses penyelidikan sesuai dengan standar hukum yang ketat.

Di Amerika Serikat, model yang diterapkan bersifat horizontal, di mana jaksa berperan sebagai “gate keeper” yang menentukan langkah-langkah hukum lebih lanjut. Hal ini memberikan jaminan bahwa setiap kasus dilihat berdasarkan kriteria hukum yang kuat sebelum diteruskan ke pengadilan.

Terakhir, Arif Maulana berpendapat bahwa reformasi KUHAP hendaknya mampu mengatasi masalah-masalah faktual dalam penyidikan, sekaligus menguatkan pengawasan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan keadilan sistem peradilan pidana. Ia menekankan perlunya mekanisme yang efektif, seperti pembatasan waktu dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam proses penegakan hukum.

Exit mobile version